Jumat, 23 September 2016

Surat Somasi pada JPNN.com

10.04 Posted by Mario Pratama
Surat Somasi One Billion Rising Jogja
atas Seksisme dalam Pemberitaan JPNN.com


Yogyakarta, 23 September 2016


Perihal : Surat Somasi


Kepada
PT. JPG Multimedia,
Pimpinan Redaksi JPNN.com,
Di Graha Pena Jawa Pos Group Building, 5th floor
Jl Raya Kebayoran Lama 12 Jakarta Selatan
Phone: +62 21 53699607
Email info@jpnn.com



Melalui surat ini, One Billion Rising Jogja bersama masyarakat Yogyakarta menyampaikan keberatan dan teguran keras terkait pemberitaan media online JPNN dalam artikel yang berjudul “Aduh Maaakkk.... Hujan Bikin Gunung Bu Bidan Kelihatan”, dirilis pada Rabu, 21 September 2016 , pk 22:00:00 di www.jpnn.com.


Minggu, 14 Februari 2016

Kesuksesan OBR Jogja 2016 Dicederai Tindak Intoleran

ONE BILLION RISING REVOLUTION JOGJA 2016

Ironis, kampanye anti kekerasan terhadap perempuan justru mendapat kekerasan.

YOGYAKARTA – Sekitar 200 orang warga Jogja hadir di Malioboro untuk mendukung kampanye One Billion Rising (OBR) Revolution Jogja 2016. Sepanjang jalan Malioboro peserta menari bersama, membagikan selebaran rujukan penanganan kekerasan dan menyerukan seruan OBR tahun ini yakni “Dengar, Beraksi, Bangkit untuk Revolusi!”. Kampanye ini mendengungkan suara para survivor kekerasan seksual yang selama ini tidak tersuarakan dan terpinggirkan dalam mengakses keadilan. Acara yang berjalan tertib ini mendapat dukungan dari pihak kepolisian dan para pengunjung Malioboro. Namun, seusai acara, sekelompok orang yang mengaku sebagai panitia kegiatan GEMAR 2016 (Gerakan Menutup Aurat) melakukan intimidasi kepada peserta acara OBR Jogja setelah Rally V-Dance, 14 Februari 2016, di kawasan Kilometer Nol.


Pada pukul 15.20, peserta berjalan dan menari (Rally V-Dance) dari DPRD DIY menuju titik Kilometer Nol. Acara diikuti berbagai lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak, ibu, guru, remaja, mahasiswa, dan berbagai komunitas pendukung. Semua peserta menari diiringi dengan musik oleh komunitas drumband dan fragmen bergerak. Menari dipilih sebagai metode yang universal, yang mengajak setiap orang untuk kembali lagi ke dalam tubuh kita sebagai individu, kelompok, dan dunia. Melalui menari, kita memasuki energi revolusioner, mengundang kita mendobrak dan lepas dari kurungan patriarki, serta bangkit melawan kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual. Peserta tiba di Kilometer Nol pada pukul 15.55. Acara puncak di Kilometer Nol diisi dengan teatrikal dan musik ensembel yang menggambarkan pengalaman survivor kekerasan dan bagaimana mendukung survivor untuk bangkit dengan rekomendasi konseling, kelompok dukungan dan advokasi keadilan. Puncaknya, semua peserta menarikan “Break the Chain” bersama-sama hingga tiga kali dan memberikan pernyataan.


“Saya bersolidaritas kepada semua perempuan yang mengalami kekerasan: buruh, guru, mahasiswa dan kelompok disabilitas yang rentan mendapat kekerasan ganda,“ seru Anggi, peserta dari kelompok disabilitas.

“Saya datang ke sini bersama ibu, anak perempuan, dan teman-teman perempuan saya. Saya tidak ingin mereka mendapatkan kekerasan. Kami tidak akan berhenti berkampanye dan beraksi hingga kekerasan berakhir,” terang Ika, perempuan peneliti yang tinggal di Bantul.


Acara berlangsung aman dan tertib hingga selesai pada pukul 16:44 WIB. Polisi turut mengawal acara berdasarkan pemberitahuan yang telah dilayangkan dua hari sebelumnya. Usai acara, peserta masih bertahan untuk membersihkan lokasi. Setelah pihak kepolisian sudah menarik diri, pukul 16.50, sekitar delapan orang yang memperkenalkan diri sebagai panitia GEMAR (Gerakan Menutup Aurat), #IndonesiaTanpaJIL, dan MIUMI mendatangi dan mengintimidasi beberapa peserta OBR Jogja.

Bentuk intimidasi yang diterima peserta One Billion Rising Revolution Jogja 2016, di antaranya:
1.       Perampasan barang peserta.
Barang yang diambil berupa pin bertulis “Say No to Bullying”. Salah seorang pelaku mengatakan bahwa pin tersebut mengandung simbol LGBT.
2.       Pelanggaran hak atas privasi.
Tiga orang pelaku memaksa dan menarik tangan seorang peserta OBR untuk difoto wajahnya, padahal yang bersangkutan telah menolak dengan tegas.
3.       Pernyataan yang mengandung SARA dan seksisme.
Peserta dicecar pertanyaan tentang identitas agama dengan sikap intimidatif, dan pertanyaan lebih banyak ditujukan pada peserta perempuan. Pelaku juga mencecar beberapa peserta berjilbab, mempertanyakan mengapa perempuan tersebut bergabung dengan kampanye OBR Jogja 2016.
4.       Kekerasan verbal berbasis ekspresi gender dan penampilan.
Peserta disoraki dengan nada melecehkan dan merendahkan saat berjalan meninggalkan lokasi. Peserta diteriaki dengan sebutan lesbian, tobat, dan kiamat. Banyak peserta perempuan juga dicecar dengan menyebutkan agama dan dituduh lesbian. Tudingan gerakan liberal juga disasarkan kepada acara OBR Jogja 2016.





Tim OBR Jogja meninggalkan lokasi yang sudah bersih pada pukul 17.03. Setelah itu, lokasi yang sama digunakan oleh acara Gerakan Menutup Aurat dan kampanye #IndonesiaTanpaJIL.

One Billion Rising Jogja menyayangkan sikap intoleran dan intimidatif yang mencederai demokrasi sore hari itu di Malioboro. Sikap tersebut jelas melukai nilai inklusivitas dan anti kekerasan yang diusung oleh OBR Jogja. Kejadian ini juga menambah daftar tindak intoleransi di DI Yogyakarta.  

Oleh karena itu, OBR Jogja: 

1.       Mendesak Negara sebagai pemangku kewajiban atas penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM dalam hal ini Pemda DIY dan Pemkot Yogyakarta harus memastikan tegaknya hak sipil politik utamanya hak atas rasa aman dan memastikan "Jogja City of Tolerance" tidak berhenti di slogan semata;
2.       Berharap agar setiap warga DI Yogyakarta menjaga dan menjunjung tinggi sikap toleransi antar warga negara. 

Mari bersama-sama memperjuangkan Yogyakarta yang berhati nyaman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Jogja Istimewa Tanpa Kekerasan, Jogja Istimewa Tanpa Intimidasi.


Salam solidaritas!
One Billion Rising Jogja 2016
+62 838 6976 9026 (Ani)

Sabtu, 13 Februari 2016

PANGGILAN REVOLUSI DENGAN MENARI

ONE BILLION RISING REVOLUTION JOGJA 2016.

One Billion Rising Revolution Jogja 2016 – tahun keempat OBR Jogja konsisten mengajak semua orang turun ke jalan dan menari. OBR Jogja menyatakan bangkit serentak bersama lebih dari 200 negara, di Hari Minggu, 14 Februari 2016 ini untuk meningkatkan kesadaran dan aksi kolektif di seluruh dunia, serta memperkuat seruan perubahan sistemik dan SEGERA.

OBR Jogja mengangkat tema ‘Tubuhku, Revolusiku’ memungkinkan setiap orang dengan sikap politik individu nya bergabung menjadi sikap politik bersama-sama. Komitmen bersama untuk berjuang melawan segala bentuk penindasan terhadap perempuan dan kelompok marjinal lainnya terutama anak perempuan dan perempuan.

Mengapa Menari? Menari memungkinkan kita untuk kembali ke dalam tubuh kita sebagai individu, kelompok, dan dunia untuk memasuki energi revolusioner dan puitis, yang mengundang kita untuk mengambil tutup dari wadah patriarkal lalu melepaskannya. Menghubungkan lagi cinta pada diri kita, seksualitas kita, kasih sayang kita, dan sebuah kegairahan.

“Kurang lebih 100 risers akan bergabung di Rally V-dance, mulai dari anak, ibu, remaja, pekerja, laki-laki, mahasiswa, dosen, guru, teman-teman disabilatas dan siapapun yang sepakat melawan kekerasan terhadap perempuan juga akan bergabung menari,” imbuh Vania Sharleen, Koordinator Risers OBR Jogja 2016.

One Billion Rising (OBR) Jogja terus melakukan solidaritas nyata kepada survivor kekerasan sejak tahun 2013. Aktif melakukan kampanye dan advokasi untuk keadilan RW dalam kasus kekerasan seksual yang dilakukan penyair Sitok Srengenge, sepanjang keadilan RW belum ditegakkan OBR Jogja melakukan pemboikotan tersangka untuk pementasan di DIY. Selain itu OBR Jogja melakukan solidaritas ‘Tribute to Our Sisters’ untuk dua perempuan muda yang ditemukan meninggal/terbunuh sebagai korban kekerasan di Jogja. OBR Jogja juga melakukan advokasi pemberitaan media melalui kritik “Jogja Ilang Roso”. Dalam perjalanannya, OBR berusaha menghidupkan ruang kolektif untuk membangun kelompok dukungan sebagai salah satu pilar penanganan kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual.

Data internasional, nasional dan lokal tidak memungkinkan (lagi) setiap orang hanya DIAM saat ini. 1 dari 3 perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan pada relasi terdekatnya. Berdasarkan informasi Rifka Annisa, di daerah Gunungkidul misalnya, dalam rentang waktu 4 bulan, 16 anak diperkosa, 4 mengalami kekerasan keluarga dan 1 mengalami pelecehan seksual. Jumlah korban kekerasan perempuan dan anak yang ditangani oleh lembaga yang tergabung dalam Forum Perlindungan Korban Kekerasan DIY dan Kabupaten/Kota dari tahun 2013 hingga 2015 mencapai 1.433 orang.

“Jika di Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sudah merilis data bahwa setiap dua jam terdapat tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia.

Faktanya ada 35 perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Fakta ini menjadi alasan kuat kenapa OBR Jogja perlu bangkit dan beraksi, “ terang Ignatia Gloria, Koordinator Acara OBR 2016.

Erwiana Sulistianingsih, seorang buruh migran perempuan (pekerja rumah tangga) mengalami penganiayaan yang sadis hingga kondisi kritis di Hongkong, tahun 2014 turut bergabung di Rally V-Dance OBR Jogja. Perempuan yang dinobatkan sebagai satu dari seratus orang berpengaruh di dunia versi majalah Time itu menerangkan mendapatkan kekuatan dan dukungan OBR Hongkong hingga penangkapan dan putusan bahwa majikannya bersalah dan dihukum.

“Waktu itu sebanyak 5000 buruh migran di Hongkong turun di jalan untuk menuntut keadilan bagi saya. OBR juga membuat saya tahu bahwa Saya masih bisa kuat menghadapi semua ini. Saat ini saya tinggal di Jogja dan bergabung dengan gerakan One Billion Rising Jogja,” urai Erwiana yang saat ini menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma. Saat ini, sebanyak 281 buruh migran Indonesia terancam hukuman mati pada 20151.

Selain itu, OBR juga menuntut negara hadir dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan. Menurut catatan Komnas Perempuan pada tahun 2015, justru terdapat 365 kebijakan di tingkat nasional maupun daerah yang diskriminatif terhadap perempuan dengan basis moralitas dan agama.

Kami mengundang rekan-rekan wartawan untuk meliput Rally V-Dance OBR 2016 :

Hari/Tanggal : 
Minggu 14 Februari 2016 (bertepatan dengan perayaan Hari Kebebasan Vagina/Vagina Day)
Waktu : 
Pukul 15:00 wib – selesai.
Acara : 
Parade menari dan fragmen bergerak yang diikuti sekitar 100 risers ini akan dimulai dari depan DPRD DIY – hingga acara puncak di KM.0, Malioboro. Acara di dukung aksi teatrikal dan ensemble dari Komunitas mahasiswa Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), juga aksi kontribusi dari komunitas drumband mahasiswa serta organisasi, kolektif & individu lainnya yang bergabung.

Kota-kota lain di Indonesia yang menyatakan turut untuk ikut bangkit diantaranya adalah Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Bali. Seruan Dengar! Beraksi! Bangkit Untuk Revolusi! tahun ini diangkat sebagai gambaran pentingnya untuk MENDENGAR suara-suara perempuan korban kekerasan yang tidak tersuarakan -- suara-suara anak perempuan dan perempuan yang dimarginalkan, pekerja seks, pengungsi, pekerja migran, transgender perempuan, dan korban perbudakan seksual dan eksploitasi – BERAKSI mengambil tindakan dan BANGKIT bersama-sama survivor mematahkan rantai kekerasan seksual serta kekerasan lainnya dan menyegerakan REVOLUSI!

*Note: disediakan oleh tim OBR Jogja lembar data kekerasan seksual di DIY.

Kontak dan informasi lebih lanjut ONE BILLION RISING JOGJA

Email : obrjogja@gmail.com | Twitter : @OBR_Jogja | Fanpage FB : One Billion Rising Jogja | IG : @OBR_Jogja | www.obr-indonesia.org | www.onebillionrising.org

Senin, 08 Desember 2014

Mengenal Kekerasan Seksual [1]

12.38 Posted by Mario Pratama
"Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan
berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis,
termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan
atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang,
baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi
(Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Ps. 1)"